Gadis Pelamun

Sumber Gambar: rahmaashariyanti.wordpress.com
Banyak orang berkata bahwa masa yang paling indah adalah masa-masa
disekolah, namun tidak denganku. Aku Bella, salah seorang siswi SMA Swasta yang
kini duduk dibangku XII. Realita hidup terpahit yang harus kuterima adalah
ketika ayah dan ibuku memutuskan untuk berpisah manakala usiaku masih terbilang
cukup muda. Aku memutuskan untuk tinggal bersama Ayahku dan juga isteri
barunya. Sementara ibuku memilih untuk menetap di Ibukota. Aku memiliki seorang
saudara lelaki akan tetapi hubungan kami tidak seakrab saudara pada umumnya. Ia
memutuskan untuk hidup mandiri. Kabar terakhir yang kudengar tentangnya ia kini
sudah berkeluarga.
“Hey, ngelamun
aja lho”, sahut Kiran yang seketika berhasil membuyarkan lamunanku. Kirana
Cinthya Larasati adalah orang pertama yang aku kenal sejak aku masuk ke sekolah
ini. Sedikit banyak ia mengetahui lika-liku hidupku, tapi tidak dengan kisah
cintaku.
“Mikirin apa
sih lho?”, tanya Kiran yang begitu penasaran dengan apa yang aku pikirkan.
“Ah, nggak kok
hehe. Dari mana aja sih lho, tumben baru nongol?” jawabku.
“Ahh dasar
lho, paling bisa ngalihin pembicaraan. Lagian lho kayak gak tau gue aja. Kalau
gue gak ada di kelas ya pastilah gue nemuin pangeran gue”, balasnya sambil
cengengesan.
“Huu dasar
gaya lho”, candaku padanya.
“Eh ehhh,
bentar lagi kan kita mau ujian nih. Terus gimana, udah dapat kampus yang lho
pengenin belum?, tanya Kiran dengan
wajah yang sedikit serius.
“Belum tau
nih, gue juga belum konsultasi dengan Ayah”, balasku
“Yaudahlah
Bell, mending lho bareng gue aja. Demi misi kemanusiaan, menolong banyak orang kan
hal yang mulia. Bayangin dehh tiga atau empat tahun lagi lho udah pakai jas
putih dengan sebuah steteskop yang melingkar di leher lho kemudian orang-orang
pada manggil lho dengan sebutan dr. Bella. Keren banget kan? , cerocos Kiran
panjang lebar.
“Ogah ahh, gue
udah bosan tiga tahun ketemu sama lho melulu” ejekku padanya.
“Jahat banget
sih lho Bell” balas Kiran dengan raut wajah sedih
“Yaelah,
juskid kok ran. Lagian kan ada Jamal yang bakal nemenin lho sampai ke ujung
dunia. Jadi lho gak perlu khawatirin apapun”, balasku sambil tersenyum
Hari berganti menjadi bulan dan tanpa terasa Ujian Nasional telah
terlewati. Masing-masing siswa telah memilih Universitas yang akan ia masuki.
I wanna be with you, if only for a night, to
be the one whose in your arms, who holds you tight. Nada dering hapeku
membuatku terbangun dimalam hari. Aku meraih hapeku dari atas meja dan terlihat
nama Kiran terpampang dari layar hapeku.
“Halo, ada apa
Ran?”, tanya ku.
“Anastasya Bella, gue lulus masuk ke Kedok”, teriak Kiran
dengan nada yang penuh kegembiraan.
“Oh ya? Selamat yah Kiraaaan, seneng banget
gue dengernya”, balasku.”Trus gimana? Jamal juga luluskan?”, lanjutku dengan
penasaran.
“Iya Bell,alhamdulillah”, jawabnya.
“Syukurlah
kalau kalian berdua lulus”
“Nada lho kok
kayak orang sedih gitu?”
“Nggak kok,
mana ada gue sedih. Gue ikut seneng kali Ran dengar berita bahagia ini.”
“Jadi gimana?
Lho udah mutusin buat ikutin saran Ayah lho?”
“Iya Ran”
“Yah Bella,
Ausie jauh banget Bell. Kalau gue rindu gimana? Lagian di Bandung ada banyak
kampus ternama ngapain juga jauh-jauh ke Ausie”.
“Hahaha, kiran
kiran. Kan ada sosmed, kapanpun kita bisa komunikasi”.
“Yah pasti
bedalah Bell, terus kapan lho berangkat?
“Lusa Ran”
“Ha? Cepet
amat. Besok malam gue jemput lho. Pokoknya kita harus ketemuan sebelum lho
berangkat”
“Iya iyaaa
Ran”, jawabku mengakhiri percakapan.
Keesokan malamnya,
dibalik jendela aku melihat sebuah mobil Jazz berwarna merah telah ada di
halaman rumahku. Aku mengenal baik mobil itu. Tak lama kemudian Kiran berteriak
memanggil namaku.
“Iyaa, Ran gue
datang”, teriakku dari dalam rumah
“Bell, gue
ngajak Jamal gak papa kan? Tanya Kiran
“Yah gak
papalah, asal lho gak jadiin gue obat nyamuk aja”, balasku sambil menaiki mobil
“Jadi kita
kemana nih? Tanya Jamal
“Kita ke
tempat biasa aja yang, gimana Bell?”
“Gue ngikut
aja deh”
Bandung adalah
salah satu kota yang terkenal dengan berbagai tempat nongkrongnya yang keren.
Salah satu tempat favoritku bersama Kiran adalah Congo Cafe yang terletak di
Dago. Hal yang membuatku jatuh cinta dengan cafe ini tidak hanya menu wisata
kulinernya yang dapat membuat ketagihan, akan tetapi pemandangan yang
disuguhkan begitu sangat indah. Deretan pepohonan yang begitu rimbun, cahaya
lampu yang teduh serta ornamen dindingnya yang didominasi kaca besar yang
membuat para pengunjung dengan leluasa menikmati pemandangan diluar. Tidak
hanya itu para pengunjung juga disuguhkan live music sehingga kita dapat larut
dalam keindahan malam.
“Mba,
reservasi atas nama Jamal”
Oh iya mas,
mari saya antarkan ke lantai tiga.
Aku menyikut
tangan Kiran dengan maksud memberi kode. Seolah Kiran mengerti maksudku, ia
lantas berkata, “Udah, Jamal yang neraktir kita” jawabnya sambil tersenyum.
Congo cafe terdiri dari tiga lantai, dari
ketiga lantai tersebut ada pengecualian untuk lantai tiga. Pengunjung yang
ingin memasukinya minimal harus mengorder menu sebesar satu juta. Mungkin
karena berada di puncak yang notabenenya kita dapat melihat sebagian dari Kota
Bandung makanya diberi pengecualian.
Tak terasa
kami telah menghabiskan tiga jam lamanya dengan obrolan hangat. Saat ini jam
telah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Setelah makanan yang dipesan telah mendarat mulus diperut kami
akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Sebelum beranjak, Kiran memanggil
pelayan dan meminta tolong untuk memfoto kami bertiga.
Tiga tahun
kemudian..
“Bella, you got
a letter from Indonesia”
Really? Ohya,
thankyou Michel. Michel adalah tetangga kosanku selama aku memutuskan tinggal
di Australia. Ia juga seorang mahasiswa di Melbourne Business School, sama
halnya denganku.
Untuk kesekian
kalinya aku mendapatkan surat yang entah siapa pengirimnya. Aku tak pernah
menggubrisnya. Seperti biasa aku menaruhnya di laci lemari belajarku. Dalam
benakku masih ada juga orang yang menggunakan surat sebagai alat komunikasi di
jaman sekarang ini.
Aku memutuskan
untuk membuka laptopku. Untuk beberapa detik lamanya aku memandangi foto yang
menjadi latar desktopku. Foto yang tiga tahun lamanya diambil dari salah satu
cafe di Bandung. Sudah tiga tahun aku
tak pernah mendengar kabar dari Kiran. Kiran sudah beberapa kali mencoba
menghubungiku tapi tak pernah aku hiraukan. Yah, mungkin aku begitu egois, tapi
yang aku rasakan Kiranlah yang egois dan tak pernah peka akan perasaanku. Dipertemuan
terakhir kami aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui segala sesuatu
tentangnya lagi.
Kejadian tiga
tahun silam kembali mengusik pikiranku manakala kudapat sms Daniel di handphone
Kiran. “Beb, kamu dimana? Kita jalan yuk”, tanya Daniel padanya.“Aku lagi
nemenin Mama nih belanja. Besok saja yah beb kita jalannya”, balas Kiran. Selama
perjalanan pulang ke rumah aku diam seribu bahasa. Aku tak berani menegur Kiran
hanya karena tak ingin melukai perasaan Jamal manakala ia tahu bahwa pacarnya
Kiran telah menyelingkuhinya.
Sebelum
menaiki pesawat aku memutuskan untuk mengirim sebuah pesan ke Kiran. Dalam isi
pesanku aku mengatakan padanya bahwa betapa teganya dia telah menyelingkuhi
Jamal selama ini. Aku tak pernah habis
berfikir Jamal yang begitu baik dan begitu care padanya telah ia duakan.
Aku memutuskan
untuk menutup kembali laptopku. Aku tak ingin larut dalam perasaan sedihku.
Sedih? Yah, aku bersedih untuk Jamal. Kepada sesosok pria yang telah aku cintai
selama tiga tahun lamanya. Kepada pria yang selalu kusebut namanya dalam tiap
doaku.
Hari berganti
menjadi tahun, tak terasa kini aku telah menjadi seorang sarjana Bisnis. Aku
memutuskan untuk kembali ke tanah air seminggu setelah aku mendapatkan
gelarku. Mendapatkan gelar dari
Universitas Bisnis Melbourne memberi keuntungan sendiri bagiku. Aku mendapat
panggilan dari sebuah perusahaan cukup ternama di Jakarta Barat.
“Maaf Mas, aku
nggak sengaja”, ucapku pada seorang pria yang telah kusambar. Aku kembali
merapikan dokumen yang telah kujatuhkan.
“Iya gak papa", balas pria yang mencoba membantuku.
"Loh, Bella? Bella kan? Ya ampun, ga nyangka banget kita bakal ketemuan disini", sambungnya.
“Jamaaal?”
tanyaku dengan nada yakin. Pria itu hanya membalasku dengan senyum hangatnya.
Tiba waktunya untuk istirahat, aku dan Jamal
memutuskan untuk bertemu kembali di salah satu cafe yang cukup dekat dengan
perusahaan tempatku kerja.
Kabar kamu
gimana Mal? Kamu sekarang kerja dimana? Kok kamu bisa sampai ke Jakarta? Trus
gimana dengan Kiran? Kamu masih pacaran dengannya? Begitu banyaknya pertanyaan
yang ingin kutanyakan pada Jamal tapi urung kulakukan. Aku begitu teramat
merindukannya sampai tak dapat berkata-kata.
“Kabar kamu
gimana Bell?”, tanya Jamal mengawali pembicaraan kami.
“Aku
alhamdulillah baik Mal”
“Kamu kerja di
perusahaan tadi yah?”
“Iya”
“Trus gimana
selama di Ausie? Suratku kok gak pernah kamu balas?”
“Surat?”
Dan untuk kedua
kalinya Jamal membalasku dengan senyumnya yang berhasil menembus jantungku.
Untuk beberapa
detik lamanya aku mengernyitkan dahiku. Aku kembali mengingat setumpukan kertas
yang tak pernah kubaca dan masih tersimpan rapi dalam boxku.
Keesokan
malamnya aku memutuskan untuk bertemu kembali dengan Jamal. Kali ini kami
bertemu di salah satu cafe di sudut kota
Jakarta. Malam ini rembulan bersinar begitu lembut. Aku mengenakan baju oblong berwana
putih. Kubiarkan rambutku terurai menutupi sebagian punggungku.
“Mal, are you
okay?” Tanyaku dengan sedikit gugup.
Malam setelah
pertemuan pertamaku dengan Jamal, aku membuka box yang berisi surat darinya. Aku
baru memperhatikan nama pengirim yang tertera pada surat tersebut. Jamal
menyingkat namanya dengan kata Jems. Jamal bercerita banyak hal. Salah satu hal
yang cukup membuat hatiku terasa sedih tapi disisi lain merasa gembira adalah
tatkala Jamal bercerita bahwa hubungannya dengan Kiran telah berakhir. Ia telah mengetahui perselingkuhan Kiran
dengan Daniel. Jamalpun mengakui bahwa ia berpisah secara baik-baik dengan
Kiran.
“Iya, kamu
udah pernah ketemu sama Kiran?”, tanyanya padaku
“Belum”,
jawabku singkat
“Mal, aku
boleh nanya?”
“Iyalah Bell”
“Soal cerita
kamu yang disurat tentang si gadis pelamun yang diam-diam kamu selalu perhatiin,
aku boleh tau orangnya siapa?”
“Hmm, si gadis
pelamun yah. Dia ada dihadapanku sekarang”
Seketika
tubuhku terasa kaku mendengar ucapan Jamal. Aku tak mampu berbicara apapun.
Jamal menatapku dengan serius.
“Bella, aku
sayang kamu. Aku mau baik aku ataupun kamu lupain segala hal yang menyangkut
masa laluku. Maukah kamu menjadi madrasah pertama bagi anak-anakku kelak?”
Oh Tuhaaan,
kalimat yang sedari dulu ingin kudengar barusan keluar langsung dari mulut
Jamal. Aku tahu Tuhan Maha Adil, walaupun aku brokenhome tapi Tuhan telah mengirimkan lelaki ini untukku.
Aku mengangguk disertai senyum cemerlang sedunia.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar