Terkadang
seseorang harus merasakan ketidakadilan akan cinta. Cinta yang teramat
menyakitkan manakala cinta itu tak pernah berujung, tak pernah berpihak. Hanya
berada pada penantian yang hampa, penantian yang semu. Karena cinta tak
selamanya berakhir bahagia.
…
“Keisyaaaaaaa,”
teriakan Ami begitu jelas terdengar. Namanya Ananstasya Amirah, seorang
mahasiswi semester akhir yang mengenyam pendidikan disalah satu Universitas
ternama di Malang, sama halnya denganku. Ami adalah sahabatku sejak SMA. Ami
memiliki sifat periang, supel, dan terkadang manja. Ada banyak kesamaan yang
kami miliki. Selain menggemari pertunjukan catwalk,
kami juga menyukai salah satu band lokal
yang sering tampil di cafe tempat kami biasanya menghabiskan waktu luang.
“Ada
apa?” Tanyaku pada Ami. “Bantu aku dong, besok Pak Mahyudin sudah minta hasil
penelitianku dan ada beberapa hal yang belum aku pahami. Aku tunggu di cafe
biasa yah sebentar malam.” Jawab Ami. “Oke.” Balasku. “Yaudah, aku duluan yah Kei. Ibas sudah
nungguin aku soalnya.” Sambung Ami mengakhiri pembicaraan sore itu. Hanya
senyum simpul yang aku berikan sebelum akhirnya Ami pergi meninggalkanku.
…
Aku
menghela nafas panjang, pikiranku terus menerawang. Ada sesuatu yang mengusik
pikiranku. Aku memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Seperti biasa
aku lebih memilih untuk bermain basket diujung kompleks tempat tinggalku.
Hampir
dua jam lamanya aku bermain basket seorang diri. Aku menoleh ke arah Barat, Matahari
telah memancarkan seberkas sinar yang teduh. Langitpun kian mempesona dengan
warna merah jingganya. Sungguh pemandangan yang indah.
“Kamu
kenapa Kei? Wajah kamu pucat banget tuh.” Tanya sesosok pria yang sedari tadi berada
tepat disampingku.”Hape aku hilang.” Jawabku lirih. “Coba deh kamu miscall kali aja ada yang ngerjain kamu.
Aku sebar info dulu ke temen-teman yah.” Sesosok pria itu terus berusaha
menenangkanku. Sorot matanya yang teduh membuat hatiku menjadi sedikit lebih
tenang.“Sudah, nomer aku tidak aktif.” Jawabku singkat.“Nah kan, hape kamu ada
di Icha. Kamuteledor banget sih.Yaudah kita ke rumah icha saja sekarang, habis
itu aku langsung antar kamu balik ke rumah.” Sahut si pria itu. “Astagaaa aku
baru ingat, hapeku tadinya kutitipkan di Icha.” Pekikku sambil menepuk jidat.
“Kamu mau antar aku balik? Bukannya kamu ada pertunjukan?” Tanyaku pada pria
itu. “Yaelah, sudah santai saja, bahaya juga kamu pulang sendirian malamgini” Jawab
pria itu. Aku mengangguk pertanda setuju.
Angin
malam berhembus lembut. Di sebuah sudut jalan terlihat satu dua orang sedang
mengais sisa-sisa makanan dari salah satu restoran ternama di kota ini. Pipiku
kian terasa hangat. Ada sesuatu yang terus berkecamuk didalam benakku.Motor Mio
berwarna silver itu kian melaju dengan cepatnya.
“Makasih
yah Ibas, take care kamu di jalan.” Kalimat
terakhir yang aku ucapkan ketika pria itu menurunkanku tepat di depan rumahku.
“Iya Kei, aku balik dulu yah.” Balasnya. Punggung yang hangat itu kembali
membelakangiku. Entah sejak kapan aku sangat membenci melihat punggung yang silih
berganti meninggalkanku.
Satu
hal lagi kesamaanku dengan Ami. Yah, kami menyukai pria yang sama. Ami sering
bercerita kepadaku tentang kekagumannya selama ini kepada pria itu. Pria itu
adalah Ibas. Sesosok pria yang menjadi panutan dan idaman bagi seluruh kaum
hawa yang mengenalnya. Aku tahu persis bagaimana kedekatan mereka berdua
belakangan ini. Kalau dulu Ibas tak bisa berbuat banyak lantaran Ami masih
menjadi milik orang lain, sekarang ceritanya berbeda. Ami baru saja putus
dengan pacarnya.
Suara
adzan masjid sontak membuyarkan lamunan panjangku. “Bodoh banget sih Kei.” Pekikku
dalam hati. Akumemutuskankembali ke rumah, bersiap-siap untuk menemui Ami dan
tentunya Ibas yang akan tampil dengan bandnya malam nanti.
Aku
memakai kemeja jeans berwarna biru muda yang panjangnya hingga selutut,
rambutku kubiarkan terurai dengan poni jatuh menutupi dahi. Jam telah
menunjukkan pukul 20.00 WIB. Aku bergegas meninggalkan meja riasku menuju
tempat dimana Ami menyuruhku datang.
…
“Lagu
ini aku persembahkan kepada wanita yang selama ini bersemayam dalam hatiku.” Ucap
Ibas ketika hendak memulai menyanyikan lagu barunya. Gemuruh tepuk tangan serta
sorakan pengunjung terdengar jelas malam itu. Pandangan Ibas hanya tertuju pada
satu wanita, dan wanita itu adalah Ami. Aku duduktepat di samping Ami. Terlihat
raut bahagia di wajahnya. Aku tahu orang yang dimaksud Ibas tidak lain adalah
Ami, sahabatku.
“Biarkan, biarkan cinta ini tumbuh.
Biarkan semua orang tahu akan perasaan yang kita miliki. Ku coba untuk tetap
setia menunggumu, hingga ku yakin kau benar hanya untukku.”
Sepenggal lirik yang sangat menyentuh, tapi begitu menyayat hati untukku.
“Kei,
Ibas sudah nembak aku tadi sore.” Ucap Ami dengan mata berbinar. Hatiku terasa
sangat berat mendengar ucapannya. Ingin rasanya aku berlari pulang ke rumah,
menangis dipangkuan Ibuku dan menceritakan betapa hancurnya hatiku mendengar pria
yang selama ini aku cintai telah menyatakan cintanya pada sahabatku sendiri.
“Oh
ya? terus apa jawaban kamu?” Aku berusaha terlihat bahagia, sebisa mungkin aku
kumpulkan sisa-sisa energiku menghadapi realita cinta ini. “Aku bilang padanyauntuk
sekarang ini aku belum bisa.Aku baru saja putus dari Bayu. Bayang-bayang Bayu
masih terus mengikutiku.” Jawaban Ami membuat hatiku bertambah pilu. Apa
maksudnya untuk sekarang ini dia belum bisa? Apa mungkin dia akan menerimanya
suatu saat nanti? “Kalau tentang Bayu, cukup dia menjadi masa lalu kamu mi.
Sudah berapa kali aku bilang Bayu terlalu posesif buat kamu. Pesan aku cuman
satu, ikutin kata hati kamu karena kata hati tidak akan pernah berbohong.”
Apa
yang barusan aku katakan? Secara tidak langsung aku menyuruh Ami untuk menerima
cinta Ibas. Pikiranku sudah tidak karuan. Aku memutuskansegera beranjak dari
tempat ini setelah mengajarkan Ami hal yang tidak ia pahami. Hatiku sudah tak
sanggup mendengar semua ceritanya.
…
Hampir
setahun lamanya aku menuntut ilmu di negeri orang. Setelah lulus di bangku
kuliah aku memutuskan untuk melanjutkan studyku
di luar negeri. Ami kini menjadi seorang Sekretaris sebuah perusahaan asing di
Jakarta. Sedangkan Ibas, dia kini menjadi salah satu Manajer disebuah perusahaan
otomitif. Ami sangat intens
mengirimkankanku email. Dia banyak bercerita tentang dunia barunya di kantor. Hinggasebuah
email yang dia kirim seketikamembuat jantungku berhenti berdetak. Ami berkata
Ibas sudah melamarnya dan mereka akan segera melangsungkan pernikahan diakhir
tahun ini, tepat saat masa studyku
berakhir. Ami sudah tak sabar menunggu kedatanganku. Dia ingin berbagi
kebahagiaannya bersamaku.
…
Hari
itupun akhirnya tiba, ku mantapkan setiap langkahku menyusuri gedung yang
dipenuhi oleh bunga mawar putih. Hatiku berdegup kencang manakala langkahku
semakin mendekati pasangan yang kini menjadi pusat perhatian banyak orang.
“Selamat
yah Ami, Ibas. Semoga kalian langgeng sampai maut memisahkan.” Ku ulurkan
tanganku untuk memberikan mereka selamat. Kalimat itupun akhirnya keluar dari
mulutku. Aku terlihat mantap mengatakannya. “Keisyaaa, aku rindu banget tau.”
Ami mendekapku penuh hangat. “Makasih banyak Kei. Kamu hutang banyak cerita ke
aku. Semoga kamu cepat nyusul juga yah.” Sambungnya. “Iya iyaaa, ntar kita lanjutin
ngobrolnya. Tamu yang lain sudah ngantri tuh.” Balasku.
Ami
terlihat begitu mempesona. Gaunpink indah yang menutupi tubuhnya dipadukan
dengan mahkota yang melekat diatas kepalanya, layaknya seorang ratu di cerita
dongeng. Begitupun dengan Ibas yang kini menjadi suaminya. Wajahnya begitu
berseri dengan stelan jas berwarna putih yang digunakannya. Darahku terasa
membeku. Kakiku seketika lunglai tatkala aku berlalu dihadapan mereka.
“Ayolahhh, Ami sahabatku dan hari ini adalah hari bahagianya.” Jeritku dalam
hati.
…
Keesokan
harinya aku mengunjungi sebuah cafe yang dulu menjadi tempat favoritku. Aku tak
lagi melihat sesosok pria yang dulunya sering membawakan lagu bersama bandnya
untuk menghibur pengunjung di cafe ini. Sesosok pria itu kini telah digantikan
dengan seorang wanita yang suaranya tak kalah merdunya,
Aku membuka laptopku. Aku hendak
mengirimkan sebuah email kepada temanku di
Los Angelestentang keadaanku saat ini. Sebuah email masuk membuat mataku
terbelalak. Email itu dari Ibas. Ia mengirimnya tiga hari yang lalu.
Dear
Keisya,
Hai Kei, apa kabarnya kamu? Semoga
kamu selalu berada dalam lindunganNya. Tiga hari lagi aku akan melangsungkan
pernikahanku dengan Ami dan belakangan ini ada sesuatu yang mengusik pikiranku.
Aku ingin memberitahukanmu hal itu Kei.Aku ingin melepaskan kegundahanku
sebelum akhirnya aku menjadi suami Ami.
Suatu hari ketika aku menyanyi di
salah satu cafe, ada seorang gadis dengan rambut kuncirnya sedang duduk
sendirian. Sesekali aku menoleh kepadanya. Matanya terlihat sendu, tatapannya
terlihat kosong. Mungkin dia sedang menikmati lagu yang kubawakan. Tapi
pandangannya terus menuju padaku. Ingin aku menyapanya tapi keberanian tak
kunjung mendatangiku.
Keesokan harinya aku mendapatinya
kembali. Posisinya persis di tempat kemarin dia berada. Dia datang bersama
seorang temannya. Kali ini matanya sudah tak terlihat sendu, senyum cerianya
sudah terpancar begitu indah dari balik wajahnya. Sungguh gadis itu telah
berhasil membuat hatiku berdetak tak karuan.
Hari-hari berikutnya aku
mendapatinya kembali. Mungkin cafe itu telah menjadi salah satu tempat
favoritnya. Akupun menyuruh salah seorang temanku untuk mencari tahu tentangnya.
Singkat cerita aku menjadi salah satu mahasiswa di kampus yang sama dengannya. Yah,
aku sengaja mendaftar di kampus dimana gadis itu mendaftar. Akhirnya, aku pun
dapat berkenalan dengan gadis itu. Namanya Keisya Miqaila Anadautama.
Entah kenapa aku merasa sangat
ingin menjadi seseorang yang lebih dari sekedar teman baginya. Melalui
sahabatnya aku mencari tahu tentangnya. Yah, dia adalah Ami. Banyak hal yang
Ami ceritakan tentangmu, termasuk tentang masa lalumu yang kelam.Akan tetapi, semakin
aku mencoba untuk mendekatimu semakin sulit rasanya bagiku. Aku merasa dirimu
terlalu tertutup kala itu. Rasa takut akan penolakanmu terhadapku sungguh
teramat besar.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin
akrab dengan Ami. Ada kenyamanan yang aku rasakan ketika bersamanya. Ami begitu
terbuka padaku. Dia sangat sering menceritakan kisah tentang pacarnya yang
begitu posesif menurutku. Aku tak mengerti dengan rasaku. Akupun sering
bertanya pada diriku sendiri, kemana rasaku yang dulu dengan si gadis berambut kuncir
bermata sendu itu? Terkadang aku merasa jahat sebagai pria yang dengan mudah
berpindah rasa. Namun aku menyadari, rasaku kepadamu dulu bukanlah sepenuhnya
cinta. Rasaku dulu hanyalah sebuah kekaguman. Hanya sebatas ego untuk
memilikimu.
Hingga akhirnya aku tahu Ami telah
putus dari pacarnya, dengan segenap keyakinanku, aku ingin menjadikan Ami
bagian dalam hidupku. Aku ingin terus bersamanya, mendekapnya, dan memastikan
kebahagiaannya.
Maaf untuk sikapku Kei, aku
berharap kamu segera mendapatkan seseorang yang dapat membahagiakanmu. Kamu
harus bahagia Kei, kamu harus temukan kebahagiaanmu.
Aku
terenyak. Isak tangisku tak dapat terbendung. Ibas Kusuma Pratama kini berhasil
meluluh lantakkan hatiku dalam sekejap. Yah, aku disini. Duduk ditempat yang
sama dengan mata yang sendu.
Komentar
Posting Komentar