Langsung ke konten utama

Cinta dalam Diam





Sumber Gambar: ceritaihsan.com


Terkadang seseorang harus merasakan ketidakadilan akan cinta. Cinta yang teramat menyakitkan manakala cinta itu tak pernah berujung, tak pernah berpihak. Hanya berada pada penantian yang hampa, penantian yang semu. Karena cinta tak selamanya berakhir bahagia.
“Keisyaaaaaaa,” teriakan Ami begitu jelas terdengar. Namanya Ananstasya Amirah, seorang mahasiswi semester akhir yang mengenyam pendidikan disalah satu Universitas ternama di Malang, sama halnya denganku. Ami adalah sahabatku sejak SMA. Ami memiliki sifat periang, supel, dan terkadang manja. Ada banyak kesamaan yang kami miliki. Selain menggemari pertunjukan catwalk, kami juga  menyukai salah satu band lokal yang sering tampil di cafe tempat kami biasanya menghabiskan waktu luang.
“Ada apa?” Tanyaku pada Ami. “Bantu aku dong, besok Pak Mahyudin sudah minta hasil penelitianku dan ada beberapa hal yang belum aku pahami. Aku tunggu di cafe biasa yah sebentar malam.” Jawab Ami. “Oke.” Balasku.  “Yaudah, aku duluan yah Kei. Ibas sudah nungguin aku soalnya.” Sambung Ami mengakhiri pembicaraan sore itu. Hanya senyum simpul yang aku berikan sebelum akhirnya Ami pergi meninggalkanku.
Aku menghela nafas panjang, pikiranku terus menerawang. Ada sesuatu yang mengusik pikiranku. Aku memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah. Seperti biasa aku lebih memilih untuk bermain basket diujung kompleks tempat tinggalku.
Hampir dua jam lamanya aku bermain basket seorang diri. Aku menoleh ke arah Barat, Matahari telah memancarkan seberkas sinar yang teduh. Langitpun kian mempesona dengan warna merah jingganya. Sungguh pemandangan yang indah.
“Kamu kenapa Kei? Wajah kamu pucat banget tuh.” Tanya sesosok pria yang sedari tadi berada tepat disampingku.”Hape aku hilang.” Jawabku lirih. “Coba deh kamu miscall kali aja ada yang ngerjain kamu. Aku sebar info dulu ke temen-teman yah.” Sesosok pria itu terus berusaha menenangkanku. Sorot matanya yang teduh membuat hatiku menjadi sedikit lebih tenang.“Sudah, nomer aku tidak aktif.” Jawabku singkat.“Nah kan, hape kamu ada di Icha. Kamuteledor banget sih.Yaudah kita ke rumah icha saja sekarang, habis itu aku langsung antar kamu balik ke rumah.” Sahut si pria itu. “Astagaaa aku baru ingat, hapeku tadinya kutitipkan di Icha.” Pekikku sambil menepuk jidat. “Kamu mau antar aku balik? Bukannya kamu ada pertunjukan?” Tanyaku pada pria itu. “Yaelah, sudah santai saja, bahaya juga kamu pulang sendirian malamgini” Jawab pria itu. Aku mengangguk pertanda setuju.
Angin malam berhembus lembut. Di sebuah sudut jalan terlihat satu dua orang sedang mengais sisa-sisa makanan dari salah satu restoran ternama di kota ini. Pipiku kian terasa hangat. Ada sesuatu yang terus berkecamuk didalam benakku.Motor Mio berwarna silver itu kian melaju dengan cepatnya.
“Makasih yah Ibas, take care kamu di jalan.” Kalimat terakhir yang aku ucapkan ketika pria itu menurunkanku tepat di depan rumahku. “Iya Kei, aku balik dulu yah.” Balasnya. Punggung yang hangat itu kembali membelakangiku. Entah sejak kapan aku sangat membenci melihat punggung yang silih berganti meninggalkanku.
Satu hal lagi kesamaanku dengan Ami. Yah, kami menyukai pria yang sama. Ami sering bercerita kepadaku tentang kekagumannya selama ini kepada pria itu. Pria itu adalah Ibas. Sesosok pria yang menjadi panutan dan idaman bagi seluruh kaum hawa yang mengenalnya. Aku tahu persis bagaimana kedekatan mereka berdua belakangan ini. Kalau dulu Ibas tak bisa berbuat banyak lantaran Ami masih menjadi milik orang lain, sekarang ceritanya berbeda. Ami baru saja putus dengan pacarnya.
Suara adzan masjid sontak membuyarkan lamunan panjangku. “Bodoh banget sih Kei.” Pekikku dalam hati. Akumemutuskankembali ke rumah, bersiap-siap untuk menemui Ami dan tentunya Ibas yang akan tampil dengan bandnya malam nanti.
Aku memakai kemeja jeans berwarna biru muda yang panjangnya hingga selutut, rambutku kubiarkan terurai dengan poni jatuh menutupi dahi. Jam telah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Aku bergegas meninggalkan meja riasku menuju tempat dimana Ami menyuruhku datang.
“Lagu ini aku persembahkan kepada wanita yang selama ini bersemayam dalam hatiku.” Ucap Ibas ketika hendak memulai menyanyikan lagu barunya. Gemuruh tepuk tangan serta sorakan pengunjung terdengar jelas malam itu. Pandangan Ibas hanya tertuju pada satu wanita, dan wanita itu adalah Ami. Aku duduktepat di samping Ami. Terlihat raut bahagia di wajahnya. Aku tahu orang yang dimaksud Ibas tidak lain adalah Ami, sahabatku.
“Biarkan, biarkan cinta ini tumbuh. Biarkan semua orang tahu akan perasaan yang kita miliki. Ku coba untuk tetap setia menunggumu, hingga ku yakin kau benar hanya untukku.” Sepenggal lirik yang sangat menyentuh, tapi begitu menyayat hati untukku.
“Kei, Ibas sudah nembak aku tadi sore.” Ucap Ami dengan mata berbinar. Hatiku terasa sangat berat mendengar ucapannya. Ingin rasanya aku berlari pulang ke rumah, menangis dipangkuan Ibuku dan menceritakan betapa hancurnya hatiku mendengar pria yang selama ini aku cintai telah menyatakan cintanya pada sahabatku sendiri.
“Oh ya? terus apa jawaban kamu?” Aku berusaha terlihat bahagia, sebisa mungkin aku kumpulkan sisa-sisa energiku menghadapi realita cinta ini. “Aku bilang padanyauntuk sekarang ini aku belum bisa.Aku baru saja putus dari Bayu. Bayang-bayang Bayu masih terus mengikutiku.” Jawaban Ami membuat hatiku bertambah pilu. Apa maksudnya untuk sekarang ini dia belum bisa? Apa mungkin dia akan menerimanya suatu saat nanti? “Kalau tentang Bayu, cukup dia menjadi masa lalu kamu mi. Sudah berapa kali aku bilang Bayu terlalu posesif buat kamu. Pesan aku cuman satu, ikutin kata hati kamu karena kata hati tidak akan pernah berbohong.”
Apa yang barusan aku katakan? Secara tidak langsung aku menyuruh Ami untuk menerima cinta Ibas. Pikiranku sudah tidak karuan. Aku memutuskansegera beranjak dari tempat ini setelah mengajarkan Ami hal yang tidak ia pahami. Hatiku sudah tak sanggup mendengar semua ceritanya.
Hampir setahun lamanya aku menuntut ilmu di negeri orang. Setelah lulus di bangku kuliah aku memutuskan untuk melanjutkan studyku di luar negeri. Ami kini menjadi seorang Sekretaris sebuah perusahaan asing di Jakarta. Sedangkan Ibas, dia kini menjadi salah satu Manajer disebuah perusahaan otomitif. Ami sangat intens mengirimkankanku email. Dia banyak bercerita tentang dunia barunya di kantor. Hinggasebuah email yang dia kirim seketikamembuat jantungku berhenti berdetak. Ami berkata Ibas sudah melamarnya dan mereka akan segera melangsungkan pernikahan diakhir tahun ini, tepat saat masa studyku berakhir. Ami sudah tak sabar menunggu kedatanganku. Dia ingin berbagi kebahagiaannya bersamaku.
Hari itupun akhirnya tiba, ku mantapkan setiap langkahku menyusuri gedung yang dipenuhi oleh bunga mawar putih. Hatiku berdegup kencang manakala langkahku semakin mendekati pasangan yang kini menjadi pusat perhatian banyak orang.
“Selamat yah Ami, Ibas. Semoga kalian langgeng sampai maut memisahkan.” Ku ulurkan tanganku untuk memberikan mereka selamat. Kalimat itupun akhirnya keluar dari mulutku. Aku terlihat mantap mengatakannya. “Keisyaaa, aku rindu banget tau.” Ami mendekapku penuh hangat. “Makasih banyak Kei. Kamu hutang banyak cerita ke aku. Semoga kamu cepat nyusul juga yah.” Sambungnya. “Iya iyaaa, ntar kita lanjutin ngobrolnya. Tamu yang lain sudah ngantri tuh.” Balasku.
Ami terlihat begitu mempesona. Gaunpink indah yang menutupi tubuhnya dipadukan dengan mahkota yang melekat diatas kepalanya, layaknya seorang ratu di cerita dongeng. Begitupun dengan Ibas yang kini menjadi suaminya. Wajahnya begitu berseri dengan stelan jas berwarna putih yang digunakannya. Darahku terasa membeku. Kakiku seketika lunglai tatkala aku berlalu dihadapan mereka. “Ayolahhh, Ami sahabatku dan hari ini adalah hari bahagianya.” Jeritku dalam hati.
Keesokan harinya aku mengunjungi sebuah cafe yang dulu menjadi tempat favoritku. Aku tak lagi melihat sesosok pria yang dulunya sering membawakan lagu bersama bandnya untuk menghibur pengunjung di cafe ini. Sesosok pria itu kini telah digantikan dengan seorang wanita yang suaranya tak kalah merdunya,
            Aku membuka laptopku. Aku hendak mengirimkan sebuah email kepada temanku di Los Angelestentang keadaanku saat ini. Sebuah email masuk membuat mataku terbelalak. Email itu dari Ibas. Ia mengirimnya tiga hari yang lalu.
Dear Keisya,
Hai Kei, apa kabarnya kamu? Semoga kamu selalu berada dalam lindunganNya. Tiga hari lagi aku akan melangsungkan pernikahanku dengan Ami dan belakangan ini ada sesuatu yang mengusik pikiranku. Aku ingin memberitahukanmu hal itu Kei.Aku ingin melepaskan kegundahanku sebelum akhirnya aku menjadi suami Ami.
Suatu hari ketika aku menyanyi di salah satu cafe, ada seorang gadis dengan rambut kuncirnya sedang duduk sendirian. Sesekali aku menoleh kepadanya. Matanya terlihat sendu, tatapannya terlihat kosong. Mungkin dia sedang menikmati lagu yang kubawakan. Tapi pandangannya terus menuju padaku. Ingin aku menyapanya tapi keberanian tak kunjung mendatangiku.
Keesokan harinya aku mendapatinya kembali. Posisinya persis di tempat kemarin dia berada. Dia datang bersama seorang temannya. Kali ini matanya sudah tak terlihat sendu, senyum cerianya sudah terpancar begitu indah dari balik wajahnya. Sungguh gadis itu telah berhasil membuat hatiku berdetak tak karuan.
Hari-hari berikutnya aku mendapatinya kembali. Mungkin cafe itu telah menjadi salah satu tempat favoritnya. Akupun menyuruh salah seorang temanku untuk mencari tahu tentangnya. Singkat cerita aku menjadi salah satu mahasiswa di kampus yang sama dengannya. Yah, aku sengaja mendaftar di kampus dimana gadis itu mendaftar. Akhirnya, aku pun dapat berkenalan dengan gadis itu. Namanya Keisya Miqaila Anadautama.
Entah kenapa aku merasa sangat ingin menjadi seseorang yang lebih dari sekedar teman baginya. Melalui sahabatnya aku mencari tahu tentangnya. Yah, dia adalah Ami. Banyak hal yang Ami ceritakan tentangmu, termasuk tentang masa lalumu yang kelam.Akan tetapi, semakin aku mencoba untuk mendekatimu semakin sulit rasanya bagiku. Aku merasa dirimu terlalu tertutup kala itu. Rasa takut akan penolakanmu terhadapku sungguh teramat besar.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin akrab dengan Ami. Ada kenyamanan yang aku rasakan ketika bersamanya. Ami begitu terbuka padaku. Dia sangat sering menceritakan kisah tentang pacarnya yang begitu posesif menurutku. Aku tak mengerti dengan rasaku. Akupun sering bertanya pada diriku sendiri, kemana rasaku yang dulu dengan si gadis berambut kuncir bermata sendu itu? Terkadang aku merasa jahat sebagai pria yang dengan mudah berpindah rasa. Namun aku menyadari, rasaku kepadamu dulu bukanlah sepenuhnya cinta. Rasaku dulu hanyalah sebuah kekaguman. Hanya sebatas ego untuk memilikimu.
Hingga akhirnya aku tahu Ami telah putus dari pacarnya, dengan segenap keyakinanku, aku ingin menjadikan Ami bagian dalam hidupku. Aku ingin terus bersamanya, mendekapnya, dan memastikan kebahagiaannya.
Maaf untuk sikapku Kei, aku berharap kamu segera mendapatkan seseorang yang dapat membahagiakanmu. Kamu harus bahagia Kei, kamu harus temukan kebahagiaanmu.
Aku terenyak. Isak tangisku tak dapat terbendung. Ibas Kusuma Pratama kini berhasil meluluh lantakkan hatiku dalam sekejap. Yah, aku disini. Duduk ditempat yang sama dengan mata yang sendu.

THE END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mas Boy

Sumber Gambar: limakata.wordpress.com Namanya Mas Boy. Salah seorang teman akrabku semasa kuliah. Tempo hari dia bercerita tentang kisah cintanya yang kandas dengan seorang gadis yang telah dipacarinya 4 tahun lamanya. Hatinya bergejolak, merasa semuanya tak adil baginya. Hubungannya harus terhenti semenjak sang gadis berada di kota yang berbeda dengannya. Kali ini gadis itu sungguh beruntung, ia berhasil mencapai angannya di kota dimana saat ini ia berada . Tapi siapakah gerangan yang selalu menemaninya selama ini? Dialah Mas Boy. Dengan penuh perjuangan, pengorbanan dan bahkan kesetiaan, ia terus berada disisi sang gadis. Kala itu Mas Boy bertanya, “Mengapa seorang wanita sangat mudah berubah rasa?” Aku menjawabnya dengan senyum. Aku tahu persis bagaimana perasaan sang gadis itu. Dan aku juga dapat merasakan hal   yang dirasakan Mas Boy saat itu. Mungkin saja sang gadis telah menemukan kenyamanan lain. Mungkin juga ada rasa bosan yang dirasakannya terhadap hubun...

Alhamdulillah

Alhamdulillah, 27 tahun yang lalu Allah menakdirkanku untuk hadir didunia Menjadi bagian dari keluarga yang begitu hangat dan senantiasa memberiku support Keluarga yang menjadi tempat ternyaman dalam berkeluh kesah dan berbagi kisah Dan semoga menjadi keluarga hingga jannahNya Aamiin Alkisah, 23 Januari 2020 IG – sapaannya. Aku mendapat wa darinya. Dia meminta waktuku untuk berjumpa, bukan berjumpa berdua tapi bersama salah seorang sahabatnya. Kutanya perihalnya, jawabnya hanya ingin ngobrol santai tapi serius. *** Salah seorang sahabatku (Sri) menelpon. Dia memberiku kabar bahwa IG telah menelponnya dan bertanya beberapa hal tentangku. Setelah mendengar penjelasannya, pertanyaan yang keluar dari mulutku “bagaimanami?’ jawabnya simple “kauji”. 30 Januari 2020 Aku memutuskan untuk berjumpa dengan IG. Pikirku hanya ada aku, IG dan sahabatnya, ternyata satu orang tak terduga juga ikut nimbrung 😅. Setelah bercerita kurang lebih d...

I GOT IT, S.P !!!

Hi, gaes. Genap sudah setahun lamanya tak pernah bercuap. Kali ini saya ingin berbagi cerita dalam mendapatkan gelar Sarjana Pertanian (SP), selamat membaca :)        Seperti halnya kebanyakan mahasiswa tingkat akhir pada umumnya, berjuang mendapatkan gelar bukan suatu hal yang mudah bagi saya, ada yang menganggap skripsi adalah sebuah beban puncak untuk mendapatkan gelar tapi ada pula sebaliknya menggapnya seperti tugas biasa yang harus diselesaikan. Asistensi, perbaikan, asistensi lagi, perbaikan lagi, asistensi lagi lagi, perbaikan lagi lagi dan terus menerus bergelut seperti itu hingga akhirnya mendapatkan satu kata yang begitu didambakan yakni ACC. Rajin, adalah satu kunci untuk cepat mendapatkan kata ACC. Semakin lama kita menunda untuk memperbaiki hasil asistensi kita dari dosen pembimbing semakin lama pula waktu yang kita butuhkan untuk menyelesaikan tahap ujian yang ada! Dan lawan kata dari rajin itulah dimana "hampir" seluruh mahasisw...